Foto arsitektur, bangunan tua, dan land mark, di Kota Solo

Followers

Arsip

Tweet Me!

Top-ads

Cari Blog Ini

BTemplates.com

category2

Pages - Menu

Popular Posts

Jumat, 06 Maret 2015

Sisi Dalam Gedung DHC 45 Solo, Bangunan Militer Paling Efektif di Eranya


Gedung DHC 45, sebelum revitalisasi, jarang tersentuh. Ini adalah potret seluk-beluk gedung tersebut.


Gedung DHC 48 Solo (Foto Arsitektur: Ansel Azhar)


FOTO ARSITEKTUR -- Jika tak ada proyek revitalisasi, Gedung DHC 45 Solo bisa jadi sudah benar-benar tak layak huni. Dengan tembok bata dan kayu-kayu yang sudah lapuk dimakan usia, bangunan yang sudah berusia lebih dari seabad itu bisa membahayakan orang-orang di sekitarnya.

Seperti bangunan lama pada umumnya, gedung ini belum mengenal sistem "tulang" di tiap sudutnya seperti yang kita kenal sekarang berupa beton atau baja. Hanya ada batu bata yang saling berkaitan dan terdiri atas dua lapis susunan bata. Itu sudah cukup menjadi tulang dan membawa bangunan ini bertahan melewati panas-hujan selama ratusan tahun.

Tidak mengherankan jika di sudut timur-utara bangunan ini muncul lubang menganga karena runtuhnya susunan batu-bata. Sebelum diperbaiki, tak banyak orang yang berani menyentuh bagian itu karena risiko tertimpa reruntuhan. Jika pada abad 19 para ahli bangunan sudah mengenal beton bertulang, mungkin saat ini sudah lain ceritanya.

Balkon lantai 2 Gedung DHC 45 Solo (Foto: Ansel Azhar)

Satu-satunya material di samping batu-bata yang dominan dalam konstruksi bangunan ini adalah kayu. Struktur kayu-kayu besar terlihat jelas begitu Anda masuk ke dalam ruang utama di bagian tengah, terutama jika kepala mendongak ke atas.

Selain sebagai bahan utama kusen, pintu, dan jendela, seluruh tiang di Gedung DHC 45 ini dibuat dari kayu. Peran kayu ini sangat dominan mengingat gedung ini memiliki dua lantai. Di lantai 2 (termasuk balkon), peran kayu  sangat besar mulai dari lantai, rangka lantai, tiang, tangga, hingga rangka atap.

Dominasi kayu ini sebenarnya sangat umum di banyak bangunan kuno berlantai dua lainnya. Contoh serupa bisa ditemukan di Kavalerie Artilerie Pamedan Mangkunegaran dan gedung Rekso Pustoko. Sebelum ada cor beton bertulang, konstruksi paling umum untuk membangun lantai dua adalah dengan rangka batang besi atau kayu.

Gerbang sayap timur terlihat dari atas (Foto Arsitektur: Ansel Azhar)

Lantai ini terdiri atas rangka berupa kayu-kayu balok berukuran besar (lebar sekitar 10 cm) yang disangga tembok dan tiang-tiang kayu. Di atasnya, terdapat susunan kayu yang lebih tipis sebagai lantai.

Di masanya, gedung ini adalah bangunan modern. Itu terlihat dari susunan bangunan di kompleks ini yang menggabungkan pagar tembok tinggi, pintu gerbang besar di sayap timur-barat, serta jembatan kayu yang menghubungkan antarbangunan di kompleks itu.

Bagian-bagian bangunan ini memang cocok sebagai kantor militer. Selain memiliki ruang-ruang yang besar, gedung ini dilengkapi halaman belakang yang luas sangat mungkin cocok untuk menyimpan kendaraan militer. Pintu gerbang di kanan-kiri juga memungkinkan kendaraan besar lalu lalang. Hal ini tak ditemukan di kompleks-kompleks bangunan kuno milik keraton.

Gerbang sisi barat, cukup lebar.
Untuk mengakses lantai 2, ada tangga yang terletak di bagian tengah bangunan. Tak hanya itu, di luar bangunan, terdapat tangga yang terbuat dari tembok tebal di sisi timur. Tangga ini memungkinkan penghuni gedung keluar dengan cepat dari lantai 2 ke halaman belakang.

Sementara itu, jembatan kayu di dua sisi bangunan (sebelum direvitalisasi) masih bisa digunakan meskipun bergoyang dan berderit jika diinjak oleh kaki manusia. Sebagian lantai kayu di lantai dua juga bergerak jika dilewati. Praktis, selama menjadi kantor DHC 45 Solo, hanya ruang-ruang di lantai 1 yang digunakan.

Jembatan penghubung bangunan tengah dan timur. (Foto Arsitektur: Ansel Azhar)

Dari bentuknya, gedung yang berdiri sejak 1876, ini memang didesain untuk mendukung kepentingan militer. Lokasinya yang berada di sebelah selatan Benteng Vastenburg, membuat bangunan ini strategis bagi strategi penguasaan kota ala pemerintah kolonial Belanda saat itu.

Dalam perkembangannya, ruang-ruang besar ini tak terawat sebelum direvitalisasi. Halaman belakang juga hanya dimanfaatkan untuk parkir becak dan gerobak pedagang kaki lima.

Bangunan ini juga merepresentasikan arsitektur yang cocok untuk iklim tropis seperti Indonesia. Jendela yang tidak terlalu besar dan langit-langit yang cukup tinggi membuat bangunan ini tidak panas meski tanpa AC. Memang tak terlihat cantik seperti bangunan ala art deco, namun ini adalah bangunan yang sangat fungsional di zamannya.

Setuju?

0 komentar:

Posting Komentar