Foto arsitektur, bangunan tua, dan land mark, di Kota Solo

Followers

Arsip

Tweet Me!

Top-ads

Cari Blog Ini

BTemplates.com

category2

Pages - Menu

Popular Posts

Minggu, 28 Februari 2016

Cerita Kecil di Masjid Kenepan, "Sunyinya Masjid Kami"


Sekelumit cerita di Masjid Kenepan, masjid di salah satu sudut kota tua Kudus Kulon.

Foto Arsitektur -- Kenepan, sebuah nama untuk sebuah area kecil di Kauman Menara, jantung Kudus Kulon, tak jauh dari Masjid Menara Kudus yang termasyhur dan tua. Sebagai bagian dari kota tua, ada banyak anggapan dari penduduk setempat bahwa tempat ini sering diwarnai kehadiran hal-hal ganjil.

Penulis yang pernah menghabiskan 6 tahun masa kecil di dekat kawasan ini, tepatnya di Kelurahan Kerjasan—hanya terpisahkan jalan raya yang tak lebar—tahu betul anggapan itu. Sejumlah penduduk setempat mengaku pernah mendengar suara asing, merasa merinding, hingga bertemu sesosok manusia aneh berkeliaran, terutama saat petang tiba.



Padahal aslinya, di sana tak seseram itu. Ada sekelumit kehidupan di sana yang memang agak berbeda dari tempat lainnya. Di kanan-kiri jalan-jalan—lebih tepatnya disebut lorong karena lebarnya maksimal 1,5 m—tersebut, bangunan-bangunan tua masih dihuni. Tembok luarnya memang usang, tapi di dalamnya kebanyakan sudah dibongkar dan diganti bangunan baru.

Salah satu lorong sempit menuju ke Masjid Kenepan

Ada perubahan masif yang tak terlihat di balik tembok-tembok tua yang rapuh itu. Yang dulunya rumah joglo khas Kudus kini jadi rumah tembok, yang tadinya pabrik rokok menjadi hunian biasa. Tapi, ada satu titik yang tak berubah hingga kini, di Masjid Kenepan.




Masjid ini adalah satu dari sekian masjid-masjid tua di Kauman Menara. Dari luar, tak tampak ada unsur ”tua” dari fasad masjid, pagar, maupun lantainya. Sekilas, masjid ini lebih mirip bangunan era 1970-an. Namun begitu mendekatinya, ada aroma tua di sana.

Di tempat wudlu, setiap orang bakal bisa menemukan kembali cara era santri kuno yang masih mengambil air wudlu dengan tangan atau baskom. Ada beberapa baskom yang kini sudah diganti dengan gayung plastik, khusus untuk mengambil air wudlu dari sebuah kolam besar.

Bak air besar tempat wudlu di Masjid Kenepan, salah satu gaya lama.

Bagi yang terbiasa berwudlu dengan kran, jangan kaget. Setiap orang harus mendekat ke bak air berukuran sekitar 3 x 3 m itu, mengambil gayung atau baskom, lalu mulai berwudlu. Tak ada keran air di sana, ya hanya baskom yang dipakai orang bergantian.

Masjid Kenepan tampak depan.


Di dalam masjid, ada struktur bangunan mirip pintu candi yang merupakan bagian awal bangunan itu. Sayangnya saat berkunjung ke sana pertengahan 2015 lalu, penulis tak membawa lampu flash sehingga tak bisa mengabadikan struktur itu. Bentuknya yang mirip candi ini sesuai dengan bentuk gerbang Masjid Menara Kudus yang juga mirip candi atau pura.

Masjid ini setiap hari masih digunakan. Tapi jangan heran jika jumlah jamaah saat salat seringkali tak genap satu shaf. Tapi tak perlu kuatir, selalu ada orang setiap waktu salat tiba, meski hanya lima orang.

Selasa, 10 Maret 2015

Pintu Gerbang ....


"Di Solo, Jogja, atau kota-kota kuno lainnya, pintu-pintu gerbang kuno bisa menjadi inspirasi"

Jika Anda pernah mampir ke Masjid Al Wustho, barat kompleks Pura Mangkunegaran, pernahkah menengok dari sudut pandang ini?


FOTO ARSITEKTUR -- Pintu gerbang menjadi bagian terdepan dari apa pun, mulai dari bangunan mungil hingga kompleks istana, dari rumah pribadi hingga batas kota. Apa gerbang di benak Anda?

Gerbang Masjid Agung Surakarta. Berarsitektur ala Persia terlihat dari ornamen yang jarang terlihat di Jawa.

Sebuah pintu gerbang rumah kuno di Laweyan, Solo.

Gapura batas kota di selatan Solo. Sebuah pintu gerbang ...

Gerbang di kompleks Dalem Purwodiningratan, Baluwarti, Solo.

Gapura batas kota di timur Solo. Sebuah pintu gerbang ...

Minggu, 08 Maret 2015

Gapura Semangi yang Nyaris Tak Terlihat Itu .....





FOTO ARSITEKTUR -- Era Pakubuwono (PB) X diwarnai deretan proyek pembangunan fisik yang masih bisa dilihat bentuk aslinya hingga hari ini. Salah satu ciri khas pembangunan kota khas PB X adalah adanya penanda fisik batas Kota Solo berupa gapura.

Gapura-gapura batas kota itu dibangun di berbagai titik, yaitu di barat (gapura Kleco, dan gapura Makamhaji), di selatan (gapura Grogol), dan di timur (gapura Semanggi).

Bagi saya, gapura batas kota di Semanggi, Pasar Kliwon, di ujung timur Kota Solo, adalah yang paling berkesan. Bukan soal fisik gapura itu sendiri, melainkan perubahan kondisi lingkungan di sekitarnya.

Dalam soal bentuk, gapura yang satu ini memang kalah megah daripada gapura di Kleco atau Grogol. Gapura ini tergolong "minimalis" dengan didominasi unsur garis vertikal dan digabungkan dengan lengkungan khas bangunan peninggalan Pakubuwono (PB) X. Soal aksen, ya hanya itu.

Ratusan tahun berlalu sejak didirikan, gapura Semanggi menjadi bangunan yang nyaris tak terlihat, apalagi menarik perhatian. Penyebabnya, lokasi gapura itu sudah tertutup oleh Jembatan Mojo penghubung Semanggi (Kota Solo), dengan Kecamatan Mojolaban (Sukoharjo).

Jika tak teliti, orang yang baru pertama melintasi Jl. Kyai Mojo mungkin tak melihat gapura yang kini berada di barat bawah jembatan. Sempatkanlah menengok ke samping jembatan untuk melihat gapura yang sebagian tertutup dedaunan.



Dahulu, sebelum jembatan itu dibangun, gapura tersebut merupakan batas sebuah jalan menuju Sungai Bengawan Solo. Sebelum ada jembatan, jalan berakhir di gapura itu dan orang harus melanjutkan perjalanan dengan perahu, getek dan sejenisnya untuk sampai ke seberang.

Sejak adanya Jembatan Mojo, jalan pun tak lagi melintas di tengah gapura, melainkan melayang di atasnya. Pengendara pun tak lagi merasakan ada gapura yang dulunya selalu menyambut setiap orang yang lewat.

Ketika permukaan air Sungai Bengawan Solo meninggi dan banjir mengancam, kendaraan masih bisa leluasa melewati jembatan. Sementara itu, gapura itu harus siap menghadapi air luapan Bengawan Solo sewaktu-waktu bersama rumah dan gubuk-gubuk di sekitarnya.

Saat musim kemarau tiba, kita bisa turun melewati jalan kecil di samping Jembatan Mojo. Di sana, siapapun bisa melihat dengan jelas gapura yang kini nyaris tak terlihat itu.

Jika punya waktu, maukah Anda menengoknya?

Jumat, 06 Maret 2015

Sisi Dalam Gedung DHC 45 Solo, Bangunan Militer Paling Efektif di Eranya


Gedung DHC 45, sebelum revitalisasi, jarang tersentuh. Ini adalah potret seluk-beluk gedung tersebut.


Gedung DHC 48 Solo (Foto Arsitektur: Ansel Azhar)


FOTO ARSITEKTUR -- Jika tak ada proyek revitalisasi, Gedung DHC 45 Solo bisa jadi sudah benar-benar tak layak huni. Dengan tembok bata dan kayu-kayu yang sudah lapuk dimakan usia, bangunan yang sudah berusia lebih dari seabad itu bisa membahayakan orang-orang di sekitarnya.

Seperti bangunan lama pada umumnya, gedung ini belum mengenal sistem "tulang" di tiap sudutnya seperti yang kita kenal sekarang berupa beton atau baja. Hanya ada batu bata yang saling berkaitan dan terdiri atas dua lapis susunan bata. Itu sudah cukup menjadi tulang dan membawa bangunan ini bertahan melewati panas-hujan selama ratusan tahun.

Tidak mengherankan jika di sudut timur-utara bangunan ini muncul lubang menganga karena runtuhnya susunan batu-bata. Sebelum diperbaiki, tak banyak orang yang berani menyentuh bagian itu karena risiko tertimpa reruntuhan. Jika pada abad 19 para ahli bangunan sudah mengenal beton bertulang, mungkin saat ini sudah lain ceritanya.

Balkon lantai 2 Gedung DHC 45 Solo (Foto: Ansel Azhar)

Satu-satunya material di samping batu-bata yang dominan dalam konstruksi bangunan ini adalah kayu. Struktur kayu-kayu besar terlihat jelas begitu Anda masuk ke dalam ruang utama di bagian tengah, terutama jika kepala mendongak ke atas.

Selain sebagai bahan utama kusen, pintu, dan jendela, seluruh tiang di Gedung DHC 45 ini dibuat dari kayu. Peran kayu ini sangat dominan mengingat gedung ini memiliki dua lantai. Di lantai 2 (termasuk balkon), peran kayu  sangat besar mulai dari lantai, rangka lantai, tiang, tangga, hingga rangka atap.

Dominasi kayu ini sebenarnya sangat umum di banyak bangunan kuno berlantai dua lainnya. Contoh serupa bisa ditemukan di Kavalerie Artilerie Pamedan Mangkunegaran dan gedung Rekso Pustoko. Sebelum ada cor beton bertulang, konstruksi paling umum untuk membangun lantai dua adalah dengan rangka batang besi atau kayu.

Gerbang sayap timur terlihat dari atas (Foto Arsitektur: Ansel Azhar)

Lantai ini terdiri atas rangka berupa kayu-kayu balok berukuran besar (lebar sekitar 10 cm) yang disangga tembok dan tiang-tiang kayu. Di atasnya, terdapat susunan kayu yang lebih tipis sebagai lantai.

Di masanya, gedung ini adalah bangunan modern. Itu terlihat dari susunan bangunan di kompleks ini yang menggabungkan pagar tembok tinggi, pintu gerbang besar di sayap timur-barat, serta jembatan kayu yang menghubungkan antarbangunan di kompleks itu.

Bagian-bagian bangunan ini memang cocok sebagai kantor militer. Selain memiliki ruang-ruang yang besar, gedung ini dilengkapi halaman belakang yang luas sangat mungkin cocok untuk menyimpan kendaraan militer. Pintu gerbang di kanan-kiri juga memungkinkan kendaraan besar lalu lalang. Hal ini tak ditemukan di kompleks-kompleks bangunan kuno milik keraton.

Gerbang sisi barat, cukup lebar.
Untuk mengakses lantai 2, ada tangga yang terletak di bagian tengah bangunan. Tak hanya itu, di luar bangunan, terdapat tangga yang terbuat dari tembok tebal di sisi timur. Tangga ini memungkinkan penghuni gedung keluar dengan cepat dari lantai 2 ke halaman belakang.

Sementara itu, jembatan kayu di dua sisi bangunan (sebelum direvitalisasi) masih bisa digunakan meskipun bergoyang dan berderit jika diinjak oleh kaki manusia. Sebagian lantai kayu di lantai dua juga bergerak jika dilewati. Praktis, selama menjadi kantor DHC 45 Solo, hanya ruang-ruang di lantai 1 yang digunakan.

Jembatan penghubung bangunan tengah dan timur. (Foto Arsitektur: Ansel Azhar)

Dari bentuknya, gedung yang berdiri sejak 1876, ini memang didesain untuk mendukung kepentingan militer. Lokasinya yang berada di sebelah selatan Benteng Vastenburg, membuat bangunan ini strategis bagi strategi penguasaan kota ala pemerintah kolonial Belanda saat itu.

Dalam perkembangannya, ruang-ruang besar ini tak terawat sebelum direvitalisasi. Halaman belakang juga hanya dimanfaatkan untuk parkir becak dan gerobak pedagang kaki lima.

Bangunan ini juga merepresentasikan arsitektur yang cocok untuk iklim tropis seperti Indonesia. Jendela yang tidak terlalu besar dan langit-langit yang cukup tinggi membuat bangunan ini tidak panas meski tanpa AC. Memang tak terlihat cantik seperti bangunan ala art deco, namun ini adalah bangunan yang sangat fungsional di zamannya.

Setuju?

Kamis, 05 Maret 2015

Sepeda untuk Cagar Budaya


FOTO ARSITEKTUR -- Belasan sepeda tua yang berjajar di depan gerbang Balaikota Solo tiap Sabtu malam itu belum seberapa banyak. Sekilas, para pemiliknya hanya bersantai di samping sepeda-sepedanya layaknya ratusan anak muda lain di sekitar mereka. Namun di balik itu, ada yang jauh lebih berarti bagi mereka di balik sepeda tua itu bagi Solo.

Sepeda tua bukan seperti sepeda fixie atau sepeda angin biasa. Bagi mereka, sepeda tua itu telah menjadi alat gerakan pelestarian sejumlah kawasan dan bangunan bersejarah yang terhampar di Kota Solo. Dengan sepeda tua, mereka mengajak orang untuk mengenal dan peduli bahwa kota ini punya ratusan jejak sejarah yang terlupakan.

“Selain bersenang-senang dengan sepeda tua, kita ingin mempromosikan kota. Kota ini punya banyak sekali tempat bersejarah, tapi banyak dari kita yang tidak kenal,” kata Dian Ariffianto Budi Susilo, arsitek yang selama ini dikenal sebagai Ketua Onthelis Solo, Sabtu (18/2/2012) malam.

Berawal dari kegemaran berjalan-jalan dengan sepeda, tercetuslah ide untuk ikut serta dalam pelestarian bangunan dan kawasan cagar budaya. Dengan sepeda tua, mereka menelusuri kota dan blusukan ke kawasan cagar budaya di Solo. Di kota ini, ada banyak objek yang biasa mereka kunjungi, mulai dari bangunan tua, museum, pasar-pasar tua, kampung batik, kampung-kampung perajin blangkon, sandal kulit hingga tak lupa mengunjungi kawasan bantaran sungai.

Saat berkunjung inilah mereka menemukan banyak hal. Berbincang dengan para penduduk setempat dan berbagai literatur membuat mereka bukan hanya tahu tentang sejarah, tapi juga masalah perkotaan yang kini mengancam. Misalnya bangunan-bangunan yang terancam rusak dimakan usia, kampung yang terdesak modernisasi dan terhimpitnya sepeda atau becak oleh kendaraan bermotor. 

“Dalam pelestarian heritage, arahnya adalah sejarah, budaya dan transportasi,” ujar Dian. “Sepeda tua itu merekam sejarah. Mereka datang ke sini dibawa oleh orang kolonial dan mengenal teknologi sepeda jauh sebelum kita.”

Begitulah mimpi tentang kota tua dan sepeda itu berasal. Bukannya ingin mengembalikan kenangan lama, namun sepeda itu menjadi simbol pelestarian cagar budaya. Berbagai ritual pun dilakukan seperti bersepeda ke tempat-tempat tua, Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti dan bahkan makam Bonoloyo.

Untuk melestarikan tradisi Jawa, mereka pun menggabungkannya dengan tradisi sepeda. Setiap tahun menjelang Suro, mereka melakukan ritual jamasan sepeda tua di depan Balaikota. Bukan bermaksud macam-macam, mereka hanya menunjukkan penghargaan pada sepeda tua yang bersejarah. Aktivitas itu pelan-pelan dikenal luas oleh masyarakat di luar Solo.

Melalui berbagai forum online, banyak pecinta jejak sejarah yang tertarik dengan aktivitas ini dan menyempatkan diri datang ke Solo. Salah satunya adalah tiga orang Belanda yang belum lama ini datang ke Solo. Para onthelis ini memang sudah menyiapkan “paket perjalanan” bagi orang Belanda tersebut berkeliling kota.

Dengan naik sepeda, mereka diantar bersama ke berbagai pusat kesenian, kampung batik Laweyan, Kauman dan sebagainya. “Jadi kita tunjukkan bahwa memelihara heritage itu simpel dan enggak berat.”

Kampanye online

Selama ini kepedulian terhadap benda dan kawasan cagar budaya memang masih banyak ditunjukkan oleh kalangan muda. Di Solo memang ada komunitas heritage, tapi kebanyakan bukan dimotori oleh orang-orang muda. Kenyataannya belum banyak anak muda yang mau terlibat aktif dalam pelestarian ini.

Hal inilah yang dirasakan oleh Asep Kambali selama setahun berada di Solo. Sejak 2008 hingga 2009, pemuda asal Jakarta ini memang tinggal di Solo karena tuntutan pekerjaannya sebagai General Manajer Roemahkoe. Di sela-sela menjalani pekerjaannya, Asep mencoba menggerakkan komunitas Historia Indonesia di wilayah Solo.

“Sebenarnya saat itu saya sudah mau membentuk Korwil Solo, ada sekitar tujuh orang yang siap dan ada yang mau menyediakan tempat. Tapi setelah itu saya sudah tidak tahu lagi kabarnya karena saya juga sudah kembali ke Jakarta,” terang Asep, Sabtu (18/2/2013) lalu.

Historia Indonesia sebenarnya bukan komunitas baru, namun di Solo komunitas ini belum banyak di kenal. Dideklarasikan di Jakarta pada 22 Maret 2003, komunitas ini konsen dalam isu-isu pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah. Mereka aktif dalam kampanye pelestarian kota-kota tua di Indonesia, termasuk Solo. “Waktu itu dibentuk oleh anak-anak sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ), tapi ada juga anak-anak UI yang ikut bergabung,” ungkapnya.

Komunitas itu terus berkembang dengan keberadaan media online seperti blog dan jejaring sosial. Di berbagai forum online, mereka banyak berdiskusi tentang sejarah dan kondisi sejumlah bangunan cagar budaya yang terancam.

Di berbagai kota, termasuk Jakarta, beberapa situs bersejarah memang terancam oleh penggusuran. Salah satunya adalah pembongkaran Rumah Cantik Menteng yang selama ini dikenal sebagai salah satu bangunan kuno di Jakarta. Di dunia maya, berbagai dukungan digalang untuk memprotes pembongkaran bangunan tersebut oleh pengembang.

“Di Jakarta, kami sering mendukung gerakan-gerakan di dunia maya. Misalnya saat kasus di Menteng, kami terus kampanyekan sehingga masyarakat mulai peduli.”

Tak hanya di Jakarta, Asep dan kawan-kawan juga terus berkampanye menolak perusakan kawasan cagar budaya di berbagai kota, seperti Pangkal Pinang dan Salatiga. Meskipun lebih banyak melalui dunia maya, gerakan ini cukup ampuh untuk penyadaran masyarakat. Komunitas ini memang sangat menyayangkan beberapa pemerintah kota yang acuh tak acuh terhadap cagar budaya.

Karena itulah Asep menaruh harapan besar terhadap Kota Solo yang memiliki banyak cagar budaya fisik. Selama di Solo, Asep banyak berhubungan dengan komunitas-komunitas yang terkait dengan isu pelestarian cagar budaya, seperti Onthelis Solo dan Solo Youth Heritage.